Minggu, 18 Mei 2014

Senyum, tawa dan keabadian...

Sekilas senyuman, membawa tawa.. Saat semua pudar, senyum dan tawa bisa memberikan secercah harapan... Saat harapan sirna pun, sedikit senyum dan tawa bisa memberi kelegaan... walau sesaat.. sebelum semua yang ada, kembali padaNya..

Beberapa kali melihat keadaan papa di Rumah Sakit bukanlah hal yang menyenangkan. Waktu terakhir aku menjenguk dan menunggunya adalah saat tensi darahnya mencapai 200 dan kandung kemihnya bermasalah. Terpaksa Dokter harus menyambungkan kateter di kandung kemihnya. Bukan hal yang menyenangkan untuk dilihat karena pada saat yang sama hernianya kambuh, dan nggak ada yang bisa kami lakukan lebih jauh. Uang kami terbatas dan itu adalah perawatan terbaik yang bisa kami berikan saat itu. Saat itu aku hanya bisa menunggu kabar dari kakak di wonosobo untuk perawatan lebih lanjut. Paling tidak rawat inap semalam itu bisa meredakan sakit di kandung kemih Papa.

Papa bukan orang punya. Dia bukan orang yang punya banyak koneksi. Dia hanya dikenal karena keramahannya. Saat dia berbahasa krama alus, semua orang takjub. Bagaimana seorang cina totok bisa berbahasa jawa krama alus seperti itu. Bahkan anak-anaknya pun kagum dan takjub melihat semua itu. Dilahirkan sebagai pekerja keras, hampir semua pekerjaan pernah dikerjakannya. Mulai dari koki khusus masakan Cina, supir angkot (sampai pernah memiliki armada sendiri), seorang pegiat seni keroncong (ngamen kemana-mana), pengrajin aksesoris emas (sampai memiliki toko emas sendiri di Surabaya), dan pelukis handal. Dia tidak pernah membuat kami, anaknya, tidak kagum saat dia bercerita mengenai pengalaman hidupnya. Begitu banyak yang tertutup, terutama terkait hubungannya dengan beberapa wanita, baik yang kami kenal maupun tidak, namun tetap, dia mengagumkan.

Bukan Papa jika dia mengeluh saat dia tertimpa penyakit seperti ini. Hernia adalah salah satu hasil kerja kerasnya saat harus menghidupi keluarganya. Menjadi buruh angkat di pasar adalah salah satu hal yang pernah dia alami, dan karena mengangkat terlalu banyak beban berat itulah hernianya kambuh di dua sisi. Operasi pertama sudah dilakukan, namun tetap saja, kandung kemihnya kadang menjadi bermasalah. Sepanjang aku mendampinginya, tidak pernah keluar keluhan sedikitpun dari mulutnya. Mungkin kami anak-anaknya yang harusnya malu, karena saat masalah kecil melanda kami sudah mengeluh seperti dunia akan kiamat saja.

Malam itu, di kateternya aku melihat darah. darah yang terlalu banyak berada di kandung kemihnya. Setiap 2 jam kami, aku dan kakakku, harus membuang air kencing penuh darah itu. Sesaat aku hanya bisa menghela nafas dan tanpa sadar setitik air mata pun jatuh. Sekuat apa sih seorang papa sebagai manusia? Mungkin terlalu kuat hingga kami tidak pernah mengetahui kelemahan dan luka-lukanya sampai dengan saat ini. Kukosongkan wadah kateter itu untuk yang kesekian kali, dan kubuang kembali kencing penuh darah itu. Seringkali aku ketiduran karena lelah, dan tak pernah sekalipun dia membangunkan kami.. Tidak pernah sekalipun..

Malam itu berakhir. Dokter hanya datang sesekali. Papa masih bisa bercanda sesekali dengan matanya yang merah karena kurang tidur. Pagi itu ambulans dari Wonosobo datang, mengantar Papa ke salah satu Rumah Sakit di Wonosobo. Ternyata kateter yang dipasang di Salatiga terlalu kecil, sehingga beberapa jaringan kandung kemih Papa robek. Karena itulah darah dari dari kateter itu mengalir dalam volume yang terlalu banyak. Tetap tidak ada keluhan dari Papa. Dia tidak pernah meminta kami untuk menuntut Rumah Sakit itu, karena dia tahu berapa gaji perawat disana. Dia tidak mengeluh dan hanya tertawa sedikit. Saat kami memasuki Rumah Sakit di Wonosobo itu, kami melihat tonjolan di perut sebelah kirinya. Hernianya kumat, dan kami hanya bisa berlari saat itu memanggil Dokter yang ada... siapapun disana... Dan dia hanya bisa tertawa sambil memegang tanganku... tawa kecil itu... senyum kecil itu...

Dalam kesakitan, seringkali hanya ada senyum.. hanya senyum... Papa dipanggil saat berumur 71 tahun.. Sebenarnya itu hanya usia di KTPnya.. Usianya mungkin lebih tua dari hanya sebuah usia KTP, anak-anaknya pun juga tidak pernah tahu.. Tapi dia mengajari kami banyak hal... Pa, kami rindu saat kau memberikanku sejarah singkat tentang PKI dan komet merah di langit, lapangan Tiananmen, bagaimana engkau bertahan hidup di Surabaya dan Jakarta, dan banyak hal lain.. Terimakasih untuk senyummu ... terimakasih untuk keabadian senyum itu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar