Senin, 19 Mei 2014

Agama di serat-serat bajuku...

Pa, kenapa Papa dulu milih beragama Kristen? Kenapa gak memilih beragama Islam saja Pa? jawaban singkat yang kadang bisa membuat derai tawaku muncul saat ini... Bisa aja sih Papa milih agama Islam, tapi sholat(doa)nya kebanyakan, 5 kali sehari... repot.... Saat kata-kata polos itu meluncur dari mulut seorang ayah, siapa yang tidak tertawa... Papa tidak pernah berpikiran yang sulit-sulit, selalu yang simple-simple saja... simple, tapi mengena...

Bukan berarti bahwa Papa adalah orang yang sangat dikotomis tentang agama. Saat aku bertanya tentang pendapatnya atas agama, hanya satu pendapatnya... Semua agama itu sama, nggak ada bedanya... Selalu kemudian dia bercerita mengenai kisah perjalanan ke barat, Biksu Tong, Sun Go Kong, dan kitab-kitab yang harus mereka ambil di India. Menurut pandangan papa, kitab-kitab inilah asal mula peradaban manusia yang berdasar agama. Pandangan yang aneh menurutku, karena setahuku tidak ada kaitan antara mitologi dan agama. Aku rasa cerita rekaan ini hanyalah dongeng pengantar tidur yang biasa diceritakan seorang ayah pada anaknya. Baru beberapa tahun kemudian aku paham maknanya..

Papa juga bercerita mengenai patung-patung yang ada di klenteng. Salah satu patung yang ada disana adalah Guan Yu/Kwan Kong, yang terkenal melalui kisahnya di kisah perang tiga negara (Sam Kok). Papa menceritakan kisah itu dengan bersemangat, hingga akhirnya dia berkata "Jadi patung yang di klenteng itu bukan patung untuk pemujaan, itu adalah patung untuk menghormati. Menghormati kisahnya berarti juga menghormati semangat di belakangnya. Siapa tokoh yang dihormati, itulah yang dijadikan guru. Sama seperti patung-patung di gereja Katolik, mereka tidak dipuja, tapi dihormati.. dijadikan guru." Sulit mempercayai kata-kata Papa pada saat itu, karena aku mulai bergabung di aktivitas revival remaja di kota asal. Tujuan kami jelas, memberitakan firman Allah, sehingga yang namanya kepercayaan lain seakan dinisbikan keadaannya dari kehidupan kami.

Aktivitas revival ini sangat memakan waktuku sebagai seorang remaja saat itu. Tuhan nomor 1, sedangkan keluarga adalah nomor kesekian. Radikalitas diukur dari seberapa kita berani meninggalkan keluarga. Aku lupa pada saat itu, bahwa keberadaanku adalah juga sebagai tulang punggung keluarga. Pekerjaan menggiling kacang hingga 10-12 kg tiap hari adalah pekerjaan rutin, dan Papa sudah memasuki penghujung akhir 60 tahun umurnya. Suatu saat aku pulang dari sebuah retreat selama 3 hari yang biasa kuikuti tiap caturwulan. Di retreat itu, aku serasa pahlawan. Pendoa yang dipenuhi berbagai karunia, dan marifat. Seakan kata-kata kenabian itu meluncur begitu saja. Banyak orang yang memujiku sebagai seorang yang taat. Saat pulang ke rumah, kulihat seorang papa yang dengan tanpa baju, berpeluh keringat menggiling 12 kg kacang. Berarti 36 kg kacang dalam 3 hari. Seakan tercekat melihat itu semua. Saat ingin kusela pekerjaannya, dia hanya berkata "Sudah, papa bisa". Agama seakan tidak ada gunanya lagi.

Papa pernah berkata sesudah dibaptis, "di gereja, Papa merasa damai. Kidung-kidungnya membuat hati Papa tenang". Saat salah satu kakak ipar dari yogya melamar kakak kedua, Papa tidak menanyakan agamanya. Dia hanya berpendapat, "orangnya kelihatan baik". Kakak ipar kami beragama Islam, dan tidak satu kalipun Papa menanyakan perpindahan agama anaknya maupun agama menantunya. Bahkan sampai dengan saat terakhir, menantu ini pula yang kemudian begitu mendekatkan keluarga Bantul dengan keluarga di Salatiga. Agama bukan menjadi pembeda, agama menjadi perekat.

Sampai dengan akhir, Papa masih menjadi penganut aliran kejawen, Kong Hu Cu, dan Kristen Protestan. Aneh? mungkin tidak.. Aku yang sebenarnya malu, saat mengatakan "Papa harus bertobat!!" Aku rasa sekarang akulah yang harusnya bertobat, bukan Papa. Tentang kisah perjalanan ke barat, ternyata Papa hanya ingin menyandingkan bahwa tidak ada agama yang sempurna. Kesempurnaan bisa tercapai, mungkin saat kita bisa hidup bersandingan dengan masing-masing agama yang berbeda dan saling mengenal satu sama lain. Biksu Tong yang seorang biksu pun masih harus mencari kitab pelengkap, yang pada akhirnya dimaknai sebagai agama semitik. India? asal dari agama Hindu dan Buddha sendiri. Saat menyadari artinya aku tertegun beberapa saat. Tidak ada kesempurnaan dalam agama, saat kita tidak bisa melakukan ajarannya. Percuma berbaju agama, tapi tanpa melaksanakan kebenarannya.

Di saat akhirnya, wajah Papa tersenyum dalam keabadian. Masih dengan senyum khasnya. Semua menahan tangis pada waktu itu. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Papa mengajarkan terlalu banyak hal. Agama bukan hanya dipakai, Agama bukan hanya di serat-serat baju, Agama itu adanya di laku (tindakan). Saat jenazah dikebumikan, semua orang mengiring. Terlalu banyak untuk seorang papa dari etnis minoritas. Orang-orang di pasar membuang uang logam di sepanjang jalan hanya untuk mengantar kepergian Papa. Ucapan selamat tinggal. Sangu kanggo swarga...

Serat baju kami robek, Pa.. Agama hanya menjadi pelindung muka kami.. Kami tahu cara menyembah, cara memuji, tapi lupa cara berbakti.. bakti pada alam sekitar, bakti pada Tuhan, bakti pada sesama.. Tetaplah berharap pada kami di dunia, Pa... satu saat agama kami bukan hanya menjadi baju kami, tapi juga laku kami.. sampai dengan saat itu, ijinkan kami menjahitnya kembali dengan benang-benang kasih... Terimakasih atas harapannya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar